Banyak cerita beredar seputar bentuk-bentuk ritual kuno di wilayah
lereng Merapi. Salah satunya adalah ajaran Bhairawa Tantra, yang
merupakan bentuk sinkretisme dari agama tertentu. Awalnya keyakinan ini
hanya berkembang di elit politis Keraton saja dan berfungsi untuk
menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah
dengan memperturutkan hawa nafsu, sehingga kecenderungan jiwa akan lebih
mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut ajaran
ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu
memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka
jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan
Indonesia I: Bangsa Hindu. (Jakarta-Groningen: J.B. Wolter, 1953:89)
Bhairawa
Tantra muncul kurang lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah Timur.
Dari sini, lalu tersebar ke Utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina
dan Jepang. Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah Timur
memasuki daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selain di Jawa,
sekte ini juga menyebar di Sumatra serta berangsur-angsur bersatu dengan
tenung dan kepercayaan pada kanibalisme. Seorang raja terkenal dari
kerajaan Melayu kuno, diceritakan menerima pelantikannya di
tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai,
tertawa minum darah, dan menghadap korban manusia yang menebarkan bau
busuk. Akan tetapi, semua ini bagi Adityawarman sangat semerbak baunya.
Pengikut sekte Bhairawa Tantra berusaha mencapai kebebasan dan
pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri
mereka adalah anti asketisme dan anti berpikir. Menurut mereka,
pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total terhadap
kenikmatan duniawi. Tujuan secara penuh memanjakan kenikmatan hidup
dengan tanpa mengenal kekangan moral ini puncaknya adalah untuk
melenyapkan segala hasrat terhadap semua kenikmatan itu. Dengan memenuhi
segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan
apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut.
Bentuk
ritual sekte ini meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau
pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari matsiya (ikan), mamsa
(daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang
terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga
“kerasukan”), dan maithuna (seks bebas). (Lihat, HM Rasjidi, Islam dan
Kebatinan. (Jakarta: Jajasan Islam Studi Club Indonesia, 1967, juga R.
Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V.
(Yogyakarta: Kanisius, 1988).
Dalam bentuk yang paling esoterik,
pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa
manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan
memakan dagingnya. (Lihat, Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Yogyakarta:
Mitra Abadi, 2006:253, 448).
Ada juga ritual seks bebas dan minum
minuman keras yang dilakukan ditempat peribadatan berupa lapangan
(padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk
mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut
sebagai saktiisme. Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya
dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten. (Koentjoroningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2010:347).
Praktik mistik yang lain yang masih eksis di
lereng Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi Lumbung
pada setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam selepas
pukul 00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi Lumbung
sambil membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang pemimpin
upacara. (Majalah Liberty, 11-20/1/2008).
Ritual ini juga masih
memiliki kemiripan sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah
sekitar Merapi, bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia dan area
persetubuhan masal dalam ritus bairawa) yang lain juga dapat ditemukan.
Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra masih dapat
ditemui di Bon Bimo. Namun di tempat petilasan itu saat ini telah
didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat.
Konon,
berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, saat tempat itu hendak
didirikan masjid, batu yang menjadi “altar” penyembelihan gadis perawan
di Bon Bimo itu mengeluarkan suara tangisan di malam hari. Banyak
penduduk sekitar bisa mendengarnya. Namun masyarakat setempat kini telah
memilih Islam dan sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di
tempat itu.
Tradisi ritual semacam ini tentu saja sudah
ditinggalkan masyarakat sekitar lereng Merapi. Sebagian besar mereka
kini memeluk agama Islam. Bahkan, tradisi-tradisi sesudahnya, seperti
penanaman kepala kerbau juga berangsur ditinggalkan oleh masyarakat.
Pemahaman Islam telah mengubah persepsi mereka tentang makna ibadah dan
“kurban”.
Ironisnya, kini dengan berlindung dibalik slogan
“kearifan lokal” ada pemerintah daerah setempat berupaya
mengkomersialisasikan ritual yang sebenarnya mulai ditinggalkan
tersebut. Dalam cara pandang ini kebudayaan dianggap sebagai sebuah
bentuk stagnasi sebuah periode sejarah. Kebudayaan ditempatkan sebagai
obyek mati yang statis dalam merespon perkembangan kebudayaan manusia.
Padahal
cara pandang ini sebenarnya sangat aneh sebab merupakan cara pandang
lama yang telah banyak ditinggalkan. Van Peursen, pakar strategi
kebudayaan, menyebutkan cara pandang terhadap kebudayaan hari ini telah
bergeser, dimana setiap orang merupakan kekuatan pembentuk kebudayaan.
(Van Peursen, Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Penerbitan Kanisius,
1976:12).
Dengan kondisi budaya dan agama seperti itu, bisa
dibayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh Wali Songo saat
menyebarkan Islam di tanah Jawa. Mereka harus menyadarkan para pengikut
Bhairawa Tantra. Melalui proses yang lama dan tidak mudah, ajaran sekte
ini akhirnya ditinggalkan orang. Sisa-sisa ajaran Bhairawa Tantra memang
masih bisa ditemukan pada sebagian individu. Hingga kini, Islamisasi di
lereng Merapi terus berjalan meski harus berhadapan dengan Kristenisasi
dan nativisasi. (Sumber : INSIST)
Para Penulis yang Mengukir Inspirasi Bagi Dunia
-
Tulisan memiliki kekuatan luar biasa untuk menginspirasi, mengubah, dan
mengukir ketenaran bagi banyak tokoh dunia. Banyak individu yang telah
mencapai ket...
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.