Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tentu pujian yang di-blow up media itu bukan tanpa tujuan. Paling tidak pujian itu mempunyai dua tujuan yang berdimensi ideologi dan politik. Secara ideologi tujuannya adalah agar Indonesia tetap menjadi negara berideologi sekuler seperti negara-negara Barat. Sedang secara politik, tujuannya adalah untuk mempertahankan Indonesia sebagai mitra AS dalam apa yang disebut sebagai War On Terorrism saat ini. Tentu pujian beracun yang menjerumuskan ini harus kita pahami dan waspadai.
Latar Belakang
Sejak hancurnya ideologi komunis awal dekade 1990-an,
Barat tidak lagi mendapatkan lawan ideologi yang seimbang dalam kancah
politik internasional. Karena itu, tak heran banyak pemikir Barat yang
mendefinisikan hancurnya komunisme itu sebagai kemenangan akhir bagi
ideologi Barat. Francis Fukuyama, misalnya, menegaskan hal tersebut
dalam bukunya The End of History.
Tapi Richard Nixon dalam bukunya Seize The Moment
sejak lama sadar dan mengingatkan, bahwa Islam sesungguhnya merupakan
kekuatan ideologi yang terus mengancam Barat. Ide-ide kaum
fundamentalis, seperti kata Nixon, tak boleh dibiarkan dan mereka adalah
musuh ideologis bagi Barat. (Hizbut Tahrir, Keniscayaan Benturan Peradaban, hal. 95).
Maka dari itu ketika terjadi Peritiwa WTC tahun 2001,
yang dilanjutkan dengan invasi Irak tahun 2003 dan Afghanistan tahun
2004, Barat atas nama Perang Melawan Terorisme telah menjadikan Islam
dan umat Islam sebagai musuhnya, agar potensi kembalinya Islam ideologi
dapat digagalkan dan agar Barat dapat mempertahankan dominasinya atas
dunia.
Kebijakan tersebut tak lepas dari kenyataan bahwa
Presiden George W. Bush yang berkuasa saat itu banyak dikelilingi para
penasehat dan pemikir dari kaum neo-konservatif, seperti Paul Wolfowitz,
Daniel Pipes, dan Bernard Lewis. Mereka inilah yang kemudian meletakkan
dasar strategi untuk mendikotomikan negara-negara di Dunia menjadi dua,
yaitu yang menentang Barat dan yang pro Barat. Yang menentang Barat
inilah yang disebut negara-negara poros setan (axis evil) seperti Korea Utara, Iran, dan Kuba. Sedang yang pro Barat, diberi pujian dan gelar sebagai negara-negara moderat.
Inti rekomendasi dari para pemikir dan penasehat
tersebut sama, yaitu agar AS mendorong negara-negara Dunia Islam menjadi
negara moderat. Dan lebih jauh lagi, mereka menginginkan AS mendesak
negeri-negeri Islam melakukan Reformasi Islam, yaitu mengubah
norma-norma ajaran Islam agar lebih cocok dengan ideologi Barat. (HT
Britain, Khilafah, Radikalisme dan Ekstremisme, hal. 122).
Bernard Lewis dalam bukunya What Went Wrong
yang menjadi rujukan kebijakan pemerintah AS, secara khusus mencontohkan
negara moderat seperti apa yang diharapkan AS. Menurut Lewis, negara
Turki modern (pasca runtuhya Khilafah tahun 1924) adalah negara moderat
yang patut dijadikan model bagi negeri-negeri Islam lainnya. (HT
Britain, Khilafah, Radikalisme dan Ekstremisme, hal. 127).
Maka dari itu, menjadi jelas latar belakang mengapa
Barat suka memuji suatu negeri Islam sebagai negara moderat, negara
demokratis, dan yang semisalnya. Segala puja dan puji itu bukanlah
pujian basa-basi, melainkan memang bagian strategi politik luar negeri
Amerika Serikat.
Penyesatan Politik dan Ideologi
Di balik pujian dan pencitraan negara moderat yang
sering diberitakan media itu, sesungguhnya terdapat penyesatan politik
dan ideologi yang mematikan.
Penyesatan politik yang dimaksudkan, adalah
penyesatan yang membuat umat Islam tidak mampu lagi mendefinisikan siapa
lawan dan siapa kawan. Sebab istilah negara moderat yang
digembar-gemborkan, mengandung hasutan halus agar umat Islam menolak
kebalikan dari negara moderat, yaitu negara yang berhaluan garis keras,
fundamentalisme, ekstremisme, terorisme, dan semisalnya.
Maka tak heran, terbit buku semacam Ilusi Negara
Islam (2009) yang terus ingin mempertahankan negara moderat Indonesia.
Dalam peluncuran buku itu di Jakarta (16/5/2009) Gus Dur sebagai
editornya menegaskan, "Studi ini kami lakukan dan publikasikan untuk
membangkitkan kesadaran seluruh komponen bangsa, khususnya para elit dan
media massa, tentang bahaya ideologi dan paham garis keras yang dibawa
ke tanah air oleh gerakan transnasional Timur Tengah dan tumbuh seperti
jamur di musim hujan dalam era reformasi kita."
Penyesatan politik ini akan membuat umat Islam
menganggap siapa pun yang mempertahankan ideologi dan negara moderat
adalah kawan yang patut dibela mati-matian. Padahal negara moderat ini
faktanya adalah negara sekuler yang mengikuti model negara penjajah yang
jelas-jelas mencampakkan agama dalam kehidupan masyarakat. Sejarah
menuturkan tak ada satu pun negeri Islam di dunia ini yang menjadi
sekuler, kecuali karena pengaruh penjajah kafir, baik langsung maupun
tidak.
Sebaliknya umat Islam akan menganggap siapa pun yang
memperjuangkan ideologi dan negara yang berhaluan garis keras, sebagai
lawan yang harus ditumpas dan dihancurkan. Padahal negara Khilafah yang
tengah diperjuangkan adalah ajaran orisinal yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Hanya saja ajaran ini telah disembunyikan dan
dimanipulasikan oleh kaum penjajah dan penguasa Dunia Islam yang menjadi
antek-antek penjajah.
Penyesatan politik ini tentu sangat berbahaya, baik
secara internal maupun eksternal. Secara internal umat terpecah belah
dan saling bermusuhan atas dasar strategi Barat yang mendikotomikan umat
Islam antara yang moderat dan yang garis keras. Akhirnya umat Islam
pecah menjadi dua golongan, yaitu : Pertama, ada yang konsisten dengan ajaran Islam dan memusuhi penjajah kafir, yang disebut dengan istilah sinis sebagai garis keras. Kedua, ada yang membantu penjajah kafir, yang disebut dengan segala puja dan puji sebagai orang moderat.
Sedang secara eksternal, umat Islam juga dibuat lupa
akan lawan yang hakiki, yaitu kaum penjajah kafir yang dipimpin oleh
Amerika Serikat. Padahal seharusnya seluruh umat Islam bersatu padu
melawan musuh hakiki ini, bukan terpecah belah demi untuk menyukseskan
strategi Barat yang amat destruktif itu.
Itulah penyesatan politik yang ada di balik kampanye
negara moderat. Selain itu, di balik itu juga terjadi penyesatan
ideologi yang tak kalah bahayanya dari penyesatan politik. Sebab untuk
menjadikan negeri-negeri Islam menjadi negara moderat, Barat tak
segan-segan melakukan upaya sengaja dan sistematis untuk mengubah norma
ajaran Islam agar sesuai dengan ideologi Barat.
Dalam strategi ideologisnya itu, Barat telah
menggariskan strategi tertentu, misalnya memaksakan pengubahan kurikulum
pendidikan di negeri-negeri Islam agar ajaran Islam lebih sesuai dengan
ideologi Barat.
Contohnya, seperti yang terjadi di Arab Saudi tahun
2003 ketika terjadi penggantian posisi jabatan Pangeran Faisal bin
Abdullah. Semula dia menjabat Ketua Badan Intelijen, tapi kemudian
didudukkan sebagai Menteri Pendidikan. Ternyata posisi barunya ini
adalah dalam rangka menjalankan misi khusus dari Washington senilai 2,4
miliar dolar AS, yaitu mengganti kurikulum pendidikan dengan cara
mengganti buku-buku pelajaran yang ada agar menjadi lebih moderat.
Buku-buku yang diganti antara lain yang membicarakan hukum jihad, yang
diubah agar lebih lunak dan selaras dengan selera kaum penjajah kafir. (Khuthurah Taghyir Al-Manahij Irdha`an li Al-Gharb, Al-Waie [Arab], No 272, Ramadhan 1430 H, September 2009).
Penyesatan ideologi ini tentu juga sangat berbahaya,
karena yang terjadi bukan sekadar terpecah belahnya umat seperti dalam
penyesatan politik, tapi perubahan norma ajaran Islam itu sendiri.
Negara Moderat dan Propaganda Demokrasi
Memang banyak yang terkecoh ketika negara moderat
dipropagandakan sebagai solusi dari rejim-rejim otoriter, sebagaimana
yang ada di Timur Tengah saat ini seperti Suriah, Mesir, Arab Saudi, dan
sebagainya. Orang jelas akan lebih memilih negara moderat yang
disebut-sebut memberikan hak rakyat untuk memilih penguasanya, daripada
memilih negara otoriter yang merampas hak rakyat ini. Mereka yang
mempropagandakan negara moderat akan menyatakan bahwa kondisi Timur
Tengah ini disebabkan oleh kurangnya demokrasi (the lack of democracy), sehingga solusinya adalah membentuk negara moderat yang demokratis.
Padahal, carut marutnya kondisi perpolitikan Timur
Tengah itu, termasuk munculnya rejim-rejim otoriter, akarnya adalah
penjajahan yang berlangsung awal abad ke-20 yang lalu. Penjajah kafirlah
yang telah menciptakan instabilitas politik Timur Tengah dengan
menghancurkan Khilafah di Turki tahun 1924 dan memecah belah bekas
wilayahnya dengan perjanjian Sykes Picot. Jadi sumber masalahnya adalah
penjajahan dan hilangnya pengaruh politik Islam, bukan karena tidak
adanya demokrasi.
Maka solusinya seharusnya adalah melenyapkan
penjajahan dan segala dampaknya serta mengembalikan pengaruh politik
Islam, bukan dengan mewujudkan negara moderat yang sebenarnya juga
adalah konsep penjajah pula. (HT Britain, Khilafah, Radikalisme dan Ekstremisme, hal. 133).
Pandangan Islam tentang Negara Moderat
Memang konsep negara moderat cukup mendapat simpati
dan dukungan dari sebagai umat Islam. Sebab mereka mengasosiasikan
negara moderat dengan Islam moderat yang diposisikan sebagai lawan dari
Islam garis keras atau Islam ekstrem, atau Islam teroris. Islam moderat
diopinikan selaras dengan kedamaian, sementara Islam garis keras
diopinikan dengan kekerasan.
Maka umat Islam pun terkecoh sehingga kemudian
ramai-ramai mendukung paham negara moderat yang dikait-kaitkan dengan
paham Islam moderat.
Padahal, negara moderat yang dikehendaki Barat tak
lain adalah negara sekuler model Barat. Bukan negara ideal seperti yang
dikehendaki ajaran Islam. Barat sendiri telah memberi contoh, bahwa
negara moderat yang harus diteladani adalah negara Turki modern yang
didirikan oleh Mustafa Kamal Ataturk tahun 1924.
Jadi, jelaslah bahwa negara moderat adalah negara
sekuler, bukan yang lain. Maka sikap Islam pun sangat jelas, negara
moderat sangat bertentangan dengan negara yang diajarkan Islam, yaitu
negara Khilafah.
Pertentangan antara negara moderat dengan negara Khilafah dapat dilihat antara lain pada hal-hal prinsipil berikut ini : Pertama, dalam negara moderat, agama dipisahkan dari urusan kehidupan, khususnya urusan pemerintahan. Agama dan negara terpisah.
Sementara dalam negara Khilafah, agama tidak
dipisahkan dari segala urusan kehidupan. Agama dan negara tidak
terpisah, karena agama menjadi dasar negara. Rasulullah SAW bersabda :
أَلاَ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلاَ تُفَارِقُواْ الْكِتَابَ
"Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur`an dan kekuasaan akan terpisah. Maka janganlah kamu memisahkan diri dari al-Qur`an." (HR at-Thabrani dalam al-Mujam al-Shaghir, hadits no. 794; Lihat juga Al-Haitsami, Majma az-Zawa`id, V/225-226).
Sabda Rasulullah SAW di atas menunjukkan, bahwa
asalnya Al-Qur`an dan kekuasaan adalah satu dan tidak terpisah. Itulah
model kekuasaan Islam yang diajarkan Rasulullah SAW.
Kedua, dalam negara moderat, sumber
hukumnya adalah manusia itu sendiri. Hal ini dikarenakan negara moderat
adalah negara demokrasi yang berprinsip kedaulatan di tangan rakyat.
Jelas ini sangat bertentangan dengan Aqidah Islam yang mengharamkan
umatnya membuat hukum sendiri. Aqidah Islam tidak membenarkan umatnya
menghalalkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu menurut manusia itu
sendiri. (Lihat QS At-Taubah : 31).
Sedang dalam negara Khilafah, sumber hukumnya adalah
wahyu (Al-Qur`an dan As-Sunnah) karena negara Khilafah berprinsip
Kedaulatan di tangan Syariah sesuai dalil Al-Qur`an bahwa tidak ada yang
berhak membuat hukum, kecuali Allah SWT. (Lihat QS Al-Anam : 57).
(Lihat Imad Abdul Fattah al-Hasanat, Al-Itidal Al-Islami Ala Al-Thariqah al-Gharbiyah, Al-Waie [Arab], No 257 268).
Dari dua hal itu saja, sangat jelas bahwa negara
moderat sangat bertolak belakang dengan negara Khilafah. Maka negara
moderat wajib ditolak oleh umat Islam karena bertentangan dengan ajaran
Islam.
Walhasil, ketika Barat memuji-muji sebuah negeri
muslim sebagai negara moderat, sesungguhnya Barat tidak sedang bermaksud
baik kepada kita. Melainkan justru tengah berusaha menipu dan
menjerumuskan kita. Waspadalah.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.