Oleh Hafidz Abdurrahman
Negara Khilafah adalah negara ideologis yang dibangun berdasarkan
ideologi Islam serta untuk menerapkan dan mengemban Islam sebagai
ideologi ke seluruh dunia. Ideologi inilah yang akan menentukan haluan
negara, termasuk berbagai kebijakan negara dalam seluruh aspek
kehidupan. Karena itu, negara Khilafah dengan kekayaan intelektual yang
dibangun berdasarkan ideologi yang shahih, yaitu Islam, ini
benar-benar merupakan negara merdeka dengan pengertian yang
sesungguhnya. Negara yang memiliki kedaulatan, kekuasan, keamanan dan
disegani oleh kawan maupun lawan, serta jauh dari hegemoni negara
maupun lembaga manapun di dunia.
Negara seperti ini harus mandiri dalam segala bidang, termasuk di
bidang industri. Karena itu, Negara Khilafah harus menjadi negara
industri maju sebab karakternya sebagai negara ideologis, baik dalam
konteks politik domestik maupun global, dan hukum-hukum syara’ yang
terkait dengannya mengharuskan Khilafah harus seperti itu. Menjadi
negara mandiri, tidak bergantung kepada yang lain, dalam menggerakkan
roda ekonomi dan industrinya, serta tidak bergantung pada impor, atau
menjadi pasar konsumtif bagi industri negara-negara asing, terutama
negara penjajah. Bahkan untuk menjaga keamanannya, Khilafah harus
mempunyai industri persenjataan dan logistik perang sendiri. Politik
luar negerinya, yaitu dakwah dan jihad, juga mengharuskan negara
melakukan persiapan sesuai dengan ketentuan hukum syara’ (QS al-Anfal:
60).
Politik Industri
Pendek kata, Khilafah harus menjadi negara industri maju dan harus
mempunyai kebijakan perindustrian yang bisa mewujudkan tujuan tersebut.
Karena itu, harus dilakukan revolusi industri, di mana kebijakan di
bidang perindustrian yang selama ini bertumpu pada industri konsumtif,
diubah menjadi industri strategis. Sekaligus menjadikan industri
strategis ini sebagai basis perindustrian. Untuk mewujudkannya hanya
ada satu cara, yaitu membangun industri peralatan atau membangun
industri yang memproduksi alat-alat, yang biasanya dikenal dengan
industri alat berat. Dari industri inilah kemudian industri-industri
lain bisa dikembangkan.
Contoh menarik adalah Uni Soviet. Ketika Lenin diminta untuk
mereformasi industri pertanian dengan mendatangkan peralatan dari
Barat, dengan tegas dia menyatakan, “Kita tidak akan menggunakannya,
sampai kita bisa memproduksi sendiri.” Sejak saat itu, Uni Soviet terus
melakukan revolusi industri dan berhasil menjadi negara nomer satu di
bidang industri kemiliteran sehingga tampil menjadi adidaya bersama
Amerika.
Ini dari aspek politik industri negara. Adapun dari aspek revolusi
industrinya, maka ini merupakan perubahan mendasar di bidang industri di
dalam negeri dan seluruh level yang dibutuhkan oleh industri
peralatan, pertahanan dan keamanan, elektronik, satelit dan lain-lain.
Begitu Khilafah berdiri, industri berat ini harus seketika itu juga
dibangun, dan tidak boleh santai sebelum benar-benar menguasai hulu,
bahkan kalau perlu hingga hilirnya. Semua potensi ekonomi harus
diarahkan ke sana guna membangun industri peralatan, dengan tetap
melanjutkan industri yang sudah ada, seperti industri konsumtif, meski
dengan catatan tidak boleh ada penambahan, sebelum target industri
berat ini tercapai. Karena seluruh industri, baik yang dimiliki oleh
negara maupun individu, harus tunduk kepada politik industri negara,
yaitu industri pertahanan dan keamanan.
Politik dan revolusi industri di atas tidak mungkin bisa diwujudkan
oleh negara Khilafah, kecuali dengan sejumlah langkah, antara lain,
negara harus membuka pusat-pusat kajian dan riset, pelatihan dan
laboratorium untuk mengajarkan sains industrial enginering, baik teori
maupun terapan, seperti industri eksplorasi, penambangan, pengolahan
dan kimia. Semuanya ini digunakan untuk menopang industri berat serta
industri pertahanan dan keamanan negara.
Perlu dicatat, bahwa industri pertahanan dan keamanan ini sudah
dikembangkan pada masa awal Islam. Pada masa Nabi, pedang, tombak,
panah, perisai, manjaniq (pelontar batu) dan dababah (sejenis tank yang
terbuat dari kulit) adalah alutsista negara pada waktu itu. Alutsista
ini sudah digunakan kaum Muslim pada zamannya. Mereka bahkan bisa
memproduksinya sendiri, dengan bahan baku yang tersedia.
Pada zaman Harun ar-Rasyid, Khalifah Abbasiyyah, sudah diciptakan
jam sebagai penunjuk waktu. Ketika Charlement, Raja Eropa saat itu,
mendapat hadiah darinya, kemudian jam itu berdetak lalu mengeluarkan
bunyi, permaisuri Raja saat itu mengira jam tersebut dihuni banyak jin
Efrit. Pada zaman Sultan Muhammad al-Fatih, Khilafah Utsmaniyyah, dia
membiayai ilmuan penemu alutsista untuk mengembangkan penemuannya, yang
semula diajukan kepada Raja Eropa, tetapi tidak direspons. Dia pun
berhasil membuat meriam raksasa yang beratnya 700 ton, dengan berat
mesiu 12.000 rithl, ditarik oleh 100 kerbau dan dibantu 100 orang yang
gagah perkasa. Jauh lontarannya sejauh 1 mil, dengan kedalaman 6 kaki.
Suara ledakannya terdengar dari jarak 13 mil. Meriam ini telah
digunakan untuk menghancurkan tembok Konstantinopel, ketika ditaklukkan
oleh sang Sultan.
Ini merupakan gambaran nyata tentang bagaimana politik industri
negara harus dijalankan. Politik yang didasarkan pada industri
pertahanan dan keamanan (as-shinâ’ah al-harbiyyah).
Industri Pertahanan, Keamanan dan Bahan Baku
Industri pertahanan dan keamanan (as-shinâ’ah al-harbiyyah) sebagai
pondasi seluruh kebijakan negara di bidang industri mengharuskan adanya
industri alat berat, bahan baku dan bahan bakar. Karena itu, negara
Khilafah juga harus membangun industri bahan baku, seperti baja, besi,
seng, kuningan dan alumunium. Selain itu, negara Khilafah harus mandiri
di bidang energi sehingga bisa memenuhi kebutuhan industrinya. Negara
juga harus mempunyai industri eksplorasi, penambangan, pengelolaan dan
penjernihan minyak, gas, batubara, panas bumi dan lain-lain. Termasuk
industri nuklir, baik untuk persenjataan maupun energi. Semuanya ini
bisa diwujudkan secara mandiri, kalau negara Khilafah memiliki industri
alat berat sendiri sehingga tidak membutuhkan dan bergantung kepada
negara lain, terutama negara Barat.
Karena industri-industri ini merupakan industri strategis, maka
industri-industri ini-sebagaimana tabiatnya sebagai penghasil
barang-barang startegis-tidak boleh dimiliki oleh pribadi, baik swasta
domestik maupun asing. Meski jenis produksinya ada yang terkait dengan
hajat hidup orang banyak, seperti energi, dan status industrinya
merupakan industri milik umum (public industry), tetapi
pengelolaannya tetap ditangani oleh negara. Karena itu,
industri-industri strategis ini pada dasarnya akan ditangani oleh
negara, bukan oleh individu, atau diprivatisasi untuk kepentingan
individu, partai atau kelompok tertentu.
Dengan kebijakan seperti itu, produksi alat utama sistem pertahanan
negara (alutsista) bisa dilakukan secara mandiri. Mulai dari pesawat
tempur, kapal induk, kapal patroli, kapal selam, helikopter, tank,
rudal jelajah antar benua, rudal pertahanan, radar, satelit dan
lain-lain. Semuanya bisa diproduksi sendiri oleh negara Khilafah,
dengan bahan baku, bahan bakar, energi hingga alat berat yang digunakan
untuk memproduksinya. Namun, kebijakan ini tidak akan bisa dijalankan
jika tidak ada politik industri yang integratif, yang dijalankan oleh
negara. Mulai dari industri alat berat, bahan baku, bahan bakar dan
energi. Mengenai pasar, bagi negara Khilafah, fokus utama produksi
adalah pertahanan dan keamanan, bukan bisnis persenjataan.
Dengan demikian, masalah pasar tidak menjadi permasalahan utama
dalam produksi alutsista. Dengan kata lain, industri pertahanan dan
keamanan negara tidak dibangun dengan prinsip benefit (untung rugi),
tetapi didasarkan pada kebutuhan pertahanan dan keamanan negara semata.
Jika untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan negara dibutuhkan dana
besar, maka berapapun kebutuhannya harus dipenuhi oleh negara (Baitul
Mal), tanpa melihat apakah produksi tersebut akan memberikan keuntungan
finansial atau tidak.
Ini berbeda dengan industri yang lain, seperti industri otomotif,
elektronik, properti, konsumtif dan lain-lain.
Dalam industri ini faktor
supply and demand atau market menjadi acuan dalam menentukan volume,
kapasitas dan ragam barang yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusi.
Selain itu, status kepemilikan industri seperti ini tidak harus
dimiliki oleh negara, tetapi boleh juga dimiliki oleh individu.
Kesimpulan
Matinya industri pertahanan dan keamanan, yang kemudian berdampak
pada lemahnya pertahanan dan keamanan negara memang tidak bisa
dilepaskan dari konspirasi negara penjajah dengan para anteknya. Mulai
dari penyesatan opini, seperti “high cost”, “tidak marketable” dan
sebagainya, hingga dilumpuhkannya industri alat berat, kedirgantaraan,
maritim dan lain-lain. Termasuk dihancurkannya industri pertambangan,
baik melalui regulasi maupun politik yang korup, hingga negeri-negeri
kaum Muslim yang kaya akan tambang dan energi itu harus mengalami
defisit pasokan energi.
Dengan cara yang sama, bahan baku yang melimpah akhirnya berhasil
dikuras oleh negara-negara penjajah. Kasus yang terjadi pada PT
Krakatau Steel dengan produksi bajanya adalah bukti praktik regulasi
dan politik yang korup. Belum lagi persaingan antara AS, melalui
perusahaan Korea Selatan dengan anteknya di Indonesia dan negara itu,
dengan Uni Eropa guna memperebutkan industri strategis ini. Ini
hanyalah contoh, bagaimana industri strategis di negeri-negeri kaum
Muslim dihancurkan melalui konspirasi jahat negara-negara penjajah dan
antek-antek mereka yang rakus dan korup.
Para Penulis yang Mengukir Inspirasi Bagi Dunia
-
Tulisan memiliki kekuatan luar biasa untuk menginspirasi, mengubah, dan
mengukir ketenaran bagi banyak tokoh dunia. Banyak individu yang telah
mencapai ket...
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.