Siapa yang tidak kenal dengan Densus88 ? hampir semua orang Indonesia familiar dengan satu nama ini. Apalagi dalam isu terorisme selalu tampil bak bintang film dan “pahlawan”. Tapi saat ini banyak orang mulai akrab dengan sebuah lembaga baru yang bernama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), karena para pejabatnya sering nongol di layar kaca menjadi “artis” dalam isu “terorisme”, dipimpin seorang yang selevel menteri dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Apa bedanya antara dua institusi di atas ? Yang paling penting adalah, BNPT memiliki kewenangan luas dan khusus di bidang kontra-terorisme. Dan Densus88 menjadi bagian dari instrument penindakan BNPT.
Isi BNPT juga nyaris bukan orang baru, banyak orang Densus88 di tarik menjadi Deputi atau direktur di Lembaga baru yang dibentuk melalui kepres No. 46 tahun 2010, resmi di teken Presiden tanggal 16 Juli 2010. Dan sejak BNPT berjalan maka isu-isu terkait “terorisme” orang-orang BNPT yang sering tampil di muka media. Bahkan ketua BNPT, Ansyad Mbai Laksana seorang orator politik; banyak membangun opini dan propaganda yang tendensius dengan seabrek kepentingan politiknya dibanding bicara fakta. Sejauh ini belum terbuka di hadapan publik tentang mekanisme kontrol terhadap kerja lembaga BNPT.
Hal yang menarik dari BNPT, keseriusannya melakukan langkah “lembut” (soft measure) dibawah payung strategi yang bernama “deradikalisasi”. Sebuah strategi bagian dari proyek “kontra-terorisme”. Dan ini harus jalan karena pendekatan secara keras dianggap belum bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah kepada tindakan “terorisme”. Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Strategi penegakan hukum juga dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption”, ia tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang. Jadi ini adalah sebuah program yang lebih banyak berbentuk pendekatan lunak (soft approach), baik kepada masyarakat luas, kelompok tertentu maupun individu tertentu yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.
Maka wajar saja jika proyek seperti ini rawan munculnya tehnik kotor untuk memuluskan. Artinya perlu diciptakan kondisi dan situasi yang bisa memediasi program berjalan seperti yang diharapkan. Mengingat dari strategi yang ditempuh, obyek sasaran jangka panjangnya jelas-jelas adalah kelompok yang dianggap megusung ideologi radikal atau fundamentalis. Dalam kontek ini ada pendekatan formal, salah satu bentuknya semisal langkah BNPT menggandeng MUI di akhir 2010 dengan membuat program Halaqoh Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme.
Acara ini diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo (21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan terakhir di Medan (30 Desember) tahun lalu. Proyek BNPT tapi Penggagas acara ini diatas namakan MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang di ketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo).
Ketika agenda ini berlangsung, fakta berbicara lain; hampir disemua tempat mendapatkan resistensi dari kalangan ulama’ dan tokoh masyarakat, audien cukup kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara “niat baik” BNPT dengan fakta dilapangan yang membuat umat Islam merasa terdzalimi. Sebuah fakta yang tidak bisa diingkari dalam upaya menumpas “terorisme”; sarat pelanggaran HAM, extra judicial killing terhadap orang-orang yang disangka “teroris”, seolah berjalan nyaris tanpa koreksi plus opini memojokkkan Islam; terorisme identik dengan Islam.
Bahkan tindakan “Hard Power” yang dipertotonkan ke publik oleh aparat menjadi inspirator sumber kekerasan dan membuat siklus kekerasan yang tidak berujung. Negara berubah menjadi “state terrorism”, akhirnya tanpa disadari melahirkan benih perlawanan baru dari berbagai level dengan beragam cara.