Ketika KERJAMU TIDAK DIHARGAI, maka saat itu kau sedang belajar arti KETULUSAN. Ketika USAHAMU dinilai TIDAK PENTING, maka saat itu kau sedang belajar arti KEIKHLASAN. Ketika HATIMU terluka SANGAT DALAM, maka saat itu kau sedang belajar arti MEMAAFKAN. Ketika kau harus LELAH & KECEWA, maka saat itu kau sedang belajar arti KESUNGGUHAN.

Rabu, 27 April 2011

Teror NII dan Deradikalisasi (Target Di Balik Isu NII)

foto: mediaindonesia.com
Oleh Harits Abu Ulya(Pemerhati Kontra-Terorisme & Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)

foto: mediaindonesia.comSiapa yang tidak kenal dengan Densus88 ? hampir semua orang Indonesia familiar dengan satu nama ini. Apalagi dalam isu terorisme selalu tampil bak bintang film dan “pahlawan”. Tapi saat ini banyak orang mulai akrab dengan sebuah lembaga baru yang bernama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), karena para pejabatnya sering nongol di layar kaca menjadi “artis” dalam isu “terorisme”, dipimpin seorang yang selevel menteri dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Apa bedanya antara dua institusi di atas ? Yang paling penting adalah, BNPT memiliki kewenangan luas dan khusus di bidang kontra-terorisme. Dan Densus88 menjadi bagian dari instrument penindakan BNPT.

Isi BNPT juga nyaris bukan orang baru, banyak orang Densus88 di tarik menjadi Deputi atau direktur di Lembaga baru yang dibentuk melalui kepres No. 46 tahun 2010, resmi di teken Presiden tanggal 16 Juli 2010. Dan sejak BNPT berjalan maka isu-isu terkait “terorisme” orang-orang BNPT yang sering tampil di muka media. Bahkan ketua BNPT, Ansyad Mbai Laksana seorang orator politik; banyak membangun opini dan propaganda yang tendensius dengan seabrek kepentingan politiknya dibanding bicara fakta. Sejauh ini belum terbuka di hadapan publik tentang mekanisme kontrol terhadap kerja lembaga BNPT.

Hal yang menarik dari BNPT, keseriusannya melakukan langkah “lembut” (soft measure) dibawah payung strategi yang bernama “deradikalisasi”. Sebuah strategi bagian dari proyek “kontra-terorisme”. Dan ini harus jalan karena pendekatan secara keras dianggap belum bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah kepada tindakan “terorisme”. Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Strategi penegakan hukum juga dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption”, ia tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang. Jadi ini adalah sebuah program yang lebih banyak berbentuk pendekatan lunak (soft approach), baik kepada masyarakat luas, kelompok tertentu maupun individu tertentu yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.

Maka wajar saja jika proyek seperti ini rawan munculnya tehnik kotor untuk memuluskan. Artinya perlu diciptakan kondisi dan situasi yang bisa memediasi program berjalan seperti yang diharapkan. Mengingat dari strategi yang ditempuh, obyek sasaran jangka panjangnya jelas-jelas adalah kelompok yang dianggap megusung ideologi radikal atau fundamentalis. Dalam kontek ini ada pendekatan formal, salah satu bentuknya semisal langkah BNPT menggandeng MUI di akhir 2010 dengan membuat program Halaqoh Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme.

Acara ini diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo (21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan terakhir di Medan (30 Desember) tahun lalu. Proyek BNPT tapi Penggagas acara ini diatas namakan MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang di ketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo).

Ketika agenda ini berlangsung, fakta berbicara lain; hampir disemua tempat mendapatkan resistensi dari kalangan ulama’ dan tokoh masyarakat, audien cukup kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara “niat baik” BNPT dengan fakta dilapangan yang membuat umat Islam merasa terdzalimi. Sebuah fakta yang tidak bisa diingkari dalam upaya menumpas “terorisme”; sarat pelanggaran HAM, extra judicial killing terhadap orang-orang yang disangka “teroris”, seolah berjalan nyaris tanpa koreksi plus opini memojokkkan Islam; terorisme identik dengan Islam.

Bahkan tindakan “Hard Power” yang dipertotonkan ke publik oleh aparat menjadi inspirator sumber kekerasan dan membuat siklus kekerasan yang tidak berujung. Negara berubah menjadi “state terrorism”, akhirnya tanpa disadari melahirkan benih perlawanan baru dari berbagai level dengan beragam cara.


Di sisi lain, cara-cara yang tidak terbuka juga sangat mungkin dilakukan agar proyek deradikalisasi dengan motif jangka panjangnya mulus berjalan. Dan “Mindsite control” melalui media juga adalah keniscayaan dan krusial menjadi kebutuhan proyek ini. Maka dalam konteks ini, kita bisa membaca relevansi antara isu yang dikembangkan media tentang NII. Pertanyaannya, kenapa harus NII ? Jawaban yang logis adalah; eksistensi NII adalah fakta sejarah dibumi Indonesia, dengan berbagai variannya NII hingga kini (varian tertentu paska periode Kartosuwiryo) menjadi anak asuh dari entitas kekuasaan dengan kepentingan politiknya. Maka jika hari ini di hembuskan ulang tentang NII, dugaan kuat bidikan sesungguhnya bukan dalam rangka menghancurkan dan memberangus NII. Tapi mengambil satu aspek, yakni terminologi “negara Islam” (alias: darul Islam, daulah Islam).

Proyek deradikalisasi, mengharuskan diraihnya target di antaranya; masyarakat resisten terhadap terminologi dan dan visi politik dari sebuah kelompok yaitu “negara Islam”. Penerapan Islam dalam format Negara harus menjadi momok bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, sekalipun penghuninya mayoritas adalah orang Islam. Karena format Indonesia yang sekuler dan liberal dalam bingkai demokrasi adalah “harga mati” menjadi muara dari proyek ini,karenanya wajib mengeliminasi setiap “ancaman” terhadapnya.

Masyarakat masih segar ingatanya; ketika terjadi peristiwa kriminal perampokan Bank CIMB di kota Medan-Sumut, Kapolri saat itu (Bambang HD) menyatakan bahwa motif perampokan adalah hendak mendirikan negara Islam. Dan ini terulang pada kasus paket Bom Buku, pihak BNPT (Ansyad Mbai) “berorasi” bahwa pelakunya adalah pengusung dan pejuang negara Islam (Khilafah) dan yang menjadi obyek sasarannya adalah penghalang Khilafah. Dengan logika sehat, sulit rasanya untuk membaca hubungan tindakan dengan motif politiknya dalam kasus-kasus diatas, tapi masyarakat melihat pihak BNPT dan instrumenya ngotot mempropagandakan tentang visi politik dari setiap peristiwa yang mereka klaim sebagai “terorisme”.

Maka sesungguhnya ini adalah perang opini dan propaganda, mengkriminalisasi terminologi “negara Islam”, berangkat dari sikap Islamphobia. Dan juga atas dasar sikap paranoid yang berlebihan, sebagaimana berlebihnya pemerintah mengumumkan “Siaga 1” untuk seluruh wilayah Indonesia menjelang “Paskah” umat kristiani dengan alasan dan argumentasi yang tidak bisa dicerna oleh orang-orang yang paham betul masalah aspek-aspek keamanan dan pertahanan.

Ala kulli haal, isu NII adalah tidak lebih layaknya pemanis dan menjadi “sambal” dari sebuah menu. Bisa juga menjadi “teror NII”, Ia diangkat ke permukaan untuk di ambil visi politiknya saja, di bawa untuk mendramatisir dan sifat mendesaknya sebuah proyek deradikalisasi harus berjalan dengan maksimal dan melibatkan banyak pihak, bahkan kebutuhan mendesak adanya regulasi (UU) yang bicara tentang keamanan negara misalkan UU Intelijen, karena dengan berbagai peristiwa “terorisme” dibangun sebuah wacana Indonesia dalam sikon “gawat darurat” karena menghadapi gejala tumbuh suburnya Ideologi impor yang hendak menjadikan Indonesia Darul Islam (negara Islam).Wajar kalau saat ini masyarakat banyak terprovokasi, misalkan komponen ormas NU melalui Ansor-nya hendak membuat Densus-99 untuk menangkap setiap kelompok yang dicurigai melakukan pelatihan dan mengembangkan paham radikal, sama berlebihannya dengan mengintruksikan kepada seluruh anggotanya untuk melakukan swepping di seluruh masjid NU se-Indonesia untuk membersihkan dari paham radikal dan fundamentalis.

Deradikalisasi menjadi media baru lahirnya adu domba, dan potensial memprovokasi lahirnya kontraksi dan gesekan sosial lebih serius internal umat Islam sendiri. Umat Islam dalam jebakan adu domba yang bernama proyek “kontra-terorisme” dengan berbagai strateginya termasuk deradikalisasi.

Waspadalah wahai kaum muslimin, karena orang-orang munafik yang benci kepada Islam, siang dan malam menyusun rencana dan agenda untuk memadamkan cahaya Islam atas alasan “demokrasi”, ”toleransi”,”kebebasan” dan “kebinekaan”. Wallahu a’lam bisshowab

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.

Dua Tetes dan Dua Bekas yang Paling Dicintai Allah

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah daripada dua tetes dan dua bekas. Setetes air mata yang menetes karena takut kepada Allah, dan setetes darah yang tumpah di jalan Allah. Adapun yang dua bekas, maka yaitu bekas-di antaranya adalah bekas jihad-di jalan Allah, dan bekas dari melakukan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban dari Allah.” (HR. Tirmidzi). Abdullah bin Umar, semoga Allah senantiasa meridhai keduanya berkata: “Sungguh aku meneteskan air mata karena takut kepada Allah itu lebih aku cintai daripada aku bersedekah seribu dinar.” (HR. Baihaqi dalam Sya’bul Iman).

Sebagian Amal Ahli Surga

Nabi saw bersabda: Sungguh jika seorang muslim berinteraksi dengan masyarakat dan sabar atas hal-hal yang menyakitkan dari mereka (akibat interaksi), lebih baik daripada seorang muslim yang tidak berinteraksi dengan masyarakat dan tidak sabar atas hal-hal yang menyakitkan dari mereka (HR. at-Tirmidzi, 9/416).

Mengikuti Sunnah

Umar bin Abdil Aziz pernah berkata: Rasulullah saw dan para pemimpin setelahnya telah menjalankan berbagai sunnah. Mengambil sunnah tersebut sama dengan membenarkan kitabullah, menyempurnakan ketaatan kepada ALLAH dan menguatkan agama ALLAH. Siapa saja yang mengamalkannya niscaya akan mendapatkan petunjuk, siapa yang memohon pertolongan kepada ALLAH dengan menjalankan sunnah maka ia pasti akan ditolong. Siapa yang menyalahi sunnah maka ia telah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, ALLAH akan memalingkannya dari kebenaran dan memasukannya ke neraka jahannam

(Ibnu Abdil Barr dalam jami’ bayan al-ilm juz 2 hal 187)

Pengaruh Dosa dan Taat

Rasulullah SAW telah bersabda: perumpamaan orang yang melakukan keburukan (dosa) kemudian melakukan kebaikan (taat) seperti orang yang memakai baju sempit yang mencekiknya. Kemudian dia berbuat baik maka lepaslah 1 lingkaran, kemudian ia berbuat baik lagi, maka lepaslah 1 lingkaran yang lain hingga akhirnya ia bisa melepaskan dirinya dari cekikan baju tersebut. (HR. Ahmad & Thobroni)

Hati Bersih dan Kotor

Rasulullah SAW pernah bersabda: Fitnah (dosa) akan datang menyambangi hati berturut-turut secara bergantian. Maka hati mana saja yang dimasukinya akan terdapat titik hitam, dan hati mana saja yang mengingkarinya maka terdapat titik putih, hingga ahirnya adalah 2 hati. Pertama, hati yang putih bersih seperti batu yang licin dan mengkilap, hati seperti ini tidak akan bisa dipengaruhi oleh fitnah (dosa) selama ada langit dan bumi (selamanya). Kedua, hati yang hitam legam bagaikan gelas yang terbalik (tumpah), hati seperti ini tidak mengenal kebaikan (Islam) dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali hanya mengenal nafsu yang masuk kedalamnya. (HR. Muslim)
 

. Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers