Jakarta. Detasement Khusus 88 (Densus 88) Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) disinyalir telah melakukan berbagai
kesalahan dalam penanganan perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang terjadi
pada 18 Agustus lalu. Hal ini terungkap dalam acara Halqah Islam dan
Peradaban (HIP) ke-24 dengan tema Mengungkap Investigasi Kasus Medan, Kebrutalan Densus 88, Kamis (18/11) siang di Wisma Antara, Jakarta.
“Telah terjadi salah gerebek, salah tangkap, salah tembak, dan salah
opini.” simpul Harits Abu Ulya, Ketua Tim Investigator Kasus Medan,
dihadapan sekitar 150 peserta yang hadir pada acara talkshow yang
diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebulan sekali itu.
Kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan penelusuran jejak Densus 88
dalam penanganan kasus tersebut. Abu Ulya bersama timnya selama sejak
13-23 Oktober 2010 menelusuri Medan Kota; Belawan; Hamparan Perak, Deli
Serdang; Dolok Masihul, Serdang Bedagai; Tanjung Balai; Pematang
Siantar; Binjai; dan Tebing.
Penelusuran jejak Densus 88 selama sepuluh hari itu dilakukan untuk
menggali informasi dan data dari keluarga korban tewas tersangka
‘teroris’; korban hidup yang disangka ‘teroris’; Polisi Daerah Sumatera
Utara (Polda Sumut); Tim Pengacara Muslim (TPM) Medan; dan mengecek
kebenaran opini yang diangkat media massa.
Gegabah dan Brutal
Menurut tim investigator indipenden yang dipimpin Abu Ulya ini,
Densus 88 telah bertindak gegabah dan brutal. Setidaknya itu dipamerkan
di lima lokasi di Sumatera Utara sehingga menimbulkan banyak korban
salah gerebek, salah tangkap, dan salah tembak.
Pertama, penyerangan di rumah Khairul Ghazali di Tanjung
Balai seperti kesaksian Kartini, istri Khairal Ghazali. Khairul Ghazali
ditangkap dengan brutal di saat sedang shalat. Dani dan Deni ditembak
begitu saja, padahal belum tentu mereka terlibat. Deni alias Yuki bahkan
bisa dibuktikan tengah berada di Solo pada saat perampokan CIMB tanggal
18 Agustus terjadi. Semua tindakan brutal ini terjadi di depan anak dan
istri Khairul Ghazali. Densus 88 menyebut bahwa Khairul Ghazali
menggunakan tameng hidup padahal tidak.
Kedua, di rumah Ridwan di Hamparan Perak seperti kesaksian
Mala istri Ridwan alias Iwan. Densus 88 menggerebek rumahnya tanpa
prosedur yang benar dan memporakporandakan isi rumah. Densus 88 menembak
Ridwan padahal ia tidak terlibat dalam perampokan CIMB Niaga.
Penembakan tersebut dilakukan di hadapan Faruk (6 tahun), anak Ridwan,
yang melahirkan trauma mendalam hingga saat ini. Densus 88
menginterogasi keluarga Ridwan yakni istri Ridwan dan istri Syafrizal
selama berhari-hari sehingga menimbulkan tekanan psikologis yang berat.
Ketiga, di rumah Johnson di Hamparan Perak seperti yang
diinformasikan sumber terpercaya di Polda Sumut. Johnson termasuk korban
salah tembak yang dilakukan oleh Densus 88. Densus 88 tidak pernah
melakukan klarifikasi atau bahkan permintaan maaf serta rehabilitasi
terhadap kekeliruan ini seolah kekeliruan ini adalah hal biasa seperti
halnya terjadi pada kasus salah tembak di Cawang, Jakarta.
Keempat, di rumah Marwan di Hamparan Perak, berdasarkan
riwayat Dzulhairi Sinaga, kuasa hukum Kasman Hadiono. Densus 88
menangkap Kasman Hadiono secara brutal padahal Kasman tidak tahu-menahu
tentang apa yang sedang terjadi. Dia datang ke rumah Marwan sekadar
untuk menemani adiknya yang adalah istri Marwan untuk menerima tamu.
Saat itulah ia ditangkap Densus 88. Pada saat Kasman datang, di rumah
Marwan sudah ada dua korban tewan dieksekusi oleh Densus 88 hanya karena
diduga terlibat dalam kasus CIMB Niaga. Dalam masa penangkapan, Kasman
diperlakukan secara tidak manusiawi. Matanya dilakban selama 4 hari dan
terus diinterograsi dengan tekanan. Sekarang Kasman sudah dilepas tapi
terus diawasi.
Kelima,di Belawan seperti kesaksian Zulhaidi Muharram dan
Syafrizal Lubis. Keduanya dituduh Densus 88 terlibat dalam penyerangan
Mapolsek Hamparan Perak. Keduanya dibawa ke KP3 Belawan, dinterogasi dan
dipaksa menandatangani BAP dengan status tersangka yang terlibat
penyerangan Mapolsek Hamparan Perak. Setelah tidak terbukti, status
keduanya turun menjadi saksi dan wajib lapor setiap hari Senin. Zulhaidi
Muharram dibawa ke Gunung Sibayak dan dipaksa mengaku bahwa kegiatan
di Gunung Sibayak adalah pelatihan teroris untuk melawan polisi padahal
itu hanya kegiatan kemping biasa.
Bukan hanya kesaksian, lanjut Abu Ulya, hasil otopsi mayat
para tersangka pun merupakan bukti tidak terbantahkan yang menunjukkan
kebrutalan Densus 88 seperti pengakuan Amar Sighn, dokter forensik RS
Bhayangkara, Medan. Menurut Amar Sighn para korban tersebut pada umumnya
hancur tulang bagian dada dan punggungnya. Artinya, target dari
penembakan itu bukan untuk melumpuhkan tetapi membunuh terduga.
Salah Opini
Di samping salah grebek, salah tangkap, dan salah tembak seperti yang
disebutkan di atas. Temuan lainnya membuktikan adanya pula ada
kesengajaan untuk menyebarkan opini sesat melalui media massa, khususnya
melalui salah satu stasiun televisi tertentu.
Berdasarkan hasil temuannya, Abu Ulya pun membeberkan beberapa kesalahan tersebut. Pertama, kabar
adanya kontak senjata dan pagar hidup pada penyerangan di rumah Khairul
Ghazali. Padahal faktanya, tidak ada kontak senjata dan tidak ada pagar
hidup pada saat penggerebekan di Tanjung Balai tersebut. Densus 88
bertindak tanpa perlawanan karena korban sedang shalat Maghrib. Serta
tidak ada satu senjata api pun di rumah tersebut, hingga Densus 88
datang.
Kedua, kabar bahwa Dzulhaidi Muharram adalah teroris yang
berlatih di Gunung Sibayak dengan target Markas Polisi Sektor Hamparan
Perak. Faktanya kegiatan di Gunung Sibayak hanyalah kemping biasa,
tidak ada maksud untuk terorisme. Kepada Abu Ulya, Zulhaidi Muharram
menyatakan dirinya dipaksa untuk mengakui bahwa itu adalah pelatihan
militer.
Ketiga, perampok CIMB adalah kelompok teroris. Padahal menurut Kapolda Sumut, Irjen Oegroseno perampokan
CIMB adalah kelompok bersenjata, tidak ada hubungan dengan terorisme.
Pernyataan tersebut memang relevan dengan temuan Abu Ulya di lapangan.
“Motif ekonomi jauh lebih dominan di banding motif lainnya,” kuak Abu
Ulya.
Lantas siapa yang membuat opini palsu tersebut? Abu Ulya menjelaskan ada dua kemungkinan. Pertama, dibuat
sendiri oleh media yang bersangkutan. “Ini mustahil karena media tidak
punya kepentingan dan kapabilitas untuk melakukan itu!” sanggahnya.
Kedua, bersumber dari pihak luar, dalam hal ini Densus 88.
Ini kemungkinan yang lebih logis. Hal itu pula yang diakui oleh media.
“Artinya, secara sengaja Densus 88, melalui media, untuk maksud tertentu
telah menciptakan opini tertentu yang salah!” ungkap Abu Ulya.
Berdasarkan hasil investigasi tersebut dan kejadian yang sepola
diberbagai daerah yang dilakukan Densus 88 seperti di Jakarta, Pamulang,
Solo dan lainnya, Abu Ulya memberikan enam rekomendasi. Salah satunya
adalah pembubaran Densus 88. “Bubarkan Densus 88!” pekiknya.[] joko prasetyo/mediaumat.com
Para Penulis yang Mengukir Inspirasi Bagi Dunia
-
Tulisan memiliki kekuatan luar biasa untuk menginspirasi, mengubah, dan
mengukir ketenaran bagi banyak tokoh dunia. Banyak individu yang telah
mencapai ket...
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.