Ini hanya sebagian tulisan yang mengetengahkan pemecahan masalah berbangsa dan bernegara dari sisi Syariah Islam. Tulisan ini ingin menunjukkan dan menantang kepada para pengelola negara bahwa Islam sangat mengatur segala urusan. Bukan doktrin pepesan kosong tanpa makna dan menipu. Ini adalah warisan turun temurun dari Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sejak diturunkannya wahyu Allah Al Qur'an dan Assunah kemudian diteruskan oleh para Ulama yang Sholeh dari Shohabat-shohabat Beliau, Tabi'in, Tabi'in-Tabi'in dan Ahlu 'Ilmi hingga kini.
Meramu APBN Syariah
Bagaimana wajah APBN
Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah? Dari sisi penerimaan
apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN? Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?
Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan.
Pertama: yang dihitung dulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap.
Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal
berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka
panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini. Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Imam Taqiyyudin an-Nabhani dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Mal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:
(1) Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Mal, yaitu harta zakat. Harta ini hanya dibelanjakan untuk delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. Bila di Baitul Mal harta zakat sudah habis maka tidak ada seorang pun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.
(2) Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad. Ini
bersifat pasti; bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan
maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi, dan bila
perlu dapat menarik pajak.
(3) Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi, yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya. Ini juga bersifat pasti.
(4) Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh. Ini juga bersifat pasti.
(5) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur. Ini juga bersifat pasti.
(6) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, hanya saja bila tidak ada, umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.
Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:
Lalu untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:
Jumlah penduduk
|
230.000.000
|
Luas wilayah darat (Km2)
|
1.900.000
|
Luas wilayah laut (Km2)
|
5.800.000
|
Panjang garis batas (Km)
|
15.000
|
Jumlah satuan administrasi level Provinsi
|
33
|
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten
|
480
|
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan
|
6.000
|
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan
|
70.000
|
Pos Santunan Fakir Miskin
Asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin)
|
50%
|
Asumsi kebutuhan nutrisi perorang perhari (gram)
|
600
|
Asumi harga pangan per-kg
|
Rp 10.000
|
Pos Pendidikan
Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th)
|
60.000.000
|
Rasio guru:siswa = 1:
|
20
|
Rasio sekolah:siswa= 1:
|
300
|
Asumsi rata-rata gaji guru perbulan
|
Rp. 5.000.000
|
Asumsi biaya operasional sekolah perbulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll)
|
Rp 25.000.000
|
Rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1:
|
10
|
Rasio dosen:mahasiswa = 1:
|
10
|
Rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1:
|
1.000
|
Asumsi biaya operasional perguruan tinggi perbulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll)
|
Rp 250.000.000
|
Pos Kesehatan
Rasio dokter:penduduk = 1:
|
1.000
|
Rasio rumah sakit:penduduk = 1:
|
10.000
|
Rasio rumah sakit: desa = 1:
|
3,0
|
Asumsi gaji dokter perbulan
|
Rp 7.500.000
|
Asumsi operasional tiap rumah sakit perbulan
|
Rp 225.000.000
|
Pos Pertahanan & Keamanan
Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km =
|
25
|
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1:
|
1.000
|
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal = [km]
|
25
|
Rasio pesawat militer untuk menjaga area
|
|
1 pesawat = [km2]
|
40.000
|
Asumsi gaji tentara/polisi/bulan
|
Rp 7.500.000
|
Asumsi operasional markas tentara/bulan
|
|
(hanya ada satu di tiap provinsi)
|
Rp 1.500.000.000
|
Asumsi operasional markas polisi/bulan
|
|
(ada di tiap kecamatan)
|
Rp 105.000.000
|
Pos Pemerintahan & Keadilan
Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1:
|
1.000
|
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1:
|
1.000
|
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan
|
Rp 7.500.000
|
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan/bulan
|
Rp 33.000.000
|
Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital
Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap
|
10 tahun
|
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya
|
20 tahun
|
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT
|
20 tahun
|
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik
|
20 tahun
|
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen
|
20 tahun
|
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista
|
20 tahun
|
Pos Cadangan Bencana terhadap APBN 5%
Pos Cadangan Maslahat non Vital 2%
Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.
Kedua: pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah. Dalam kitab Al-Amwal fi ad-Dawlah al-Khilafah Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:
(1) Bagian Fai dan Kharaj. Penerimaan ini meliputi:
a. Seksi Ghanimah, mencakup anfal, fa’i dan khumus.
b. Seksi Kharaj.
c. Seksi Status tanah.
d. Seksi Jizyah
e. Seksi Fai
f. Seksi Pajak (dhoribah)
(2) Bagian Kepemilikan Umum, yaitu pengelolaan sumberdaya alam yang hakikatnya milik umum:
a. Seksi minyak dan gas.
b. Seksi listrik.
c. Seksi pertambangan.
d. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air.
e. Seksi hutan dan padang rumput.
f. Seksi aset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf.
Kepemilikan umum harus
dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung
maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya, baik di
dalam negeri maupun ekspor.
(3) Bagian sedekah, yang terdiri dari sedekah wajib, yaitu:
a. Zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak).
b. Zakat pertanian dan buah-buahan.
c. Zakat ternak.
Untuk Indonesia, dari
ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah
kepemilikan umum. Pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan
sejumlah asumsi, yang antara lain bergantung pada harga minyak dunia dan
nilai tukar mata uang dunia.
Data yang ada saat ini:
Produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barel perhari (bpd). Bila
asumsi harga minyak adalah US$ 65/barel dan nilai tukar rupiah Rp
9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp 202 Triliun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profit-nya
masih di atas Rp 182 Triliun. Namun, keuntungan ini hanya tercapai bila
seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni
US$ 72/barel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul
Mal. Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena
kebutuhan minyak perhari 1,2 juta barel, akibat politik energi selama
ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan
jaringan kereta api berikut elektrifikasinya.
Produksi gas (LNG) adalah
sekitar 5,6 juta barel minyak perhari, namun harganya di pasar dunia
hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profit-nya sekitar Rp 268 Triliun.
Produksi batubara adalah
sekitar 2 juta barel minyak perhari, dengan harga di pasar dunia sekitar
50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 212 Triliun, atau nett profit-nya sekitar Rp 191 Triliun.
Produksi listrik tidak
signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi
terbarukan (air, angin dan geothermal) atau nuklir. Energi listrik
seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri. Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara Bukit Asam dan PLN, maka PLN rugi puluhan Triliun.
Produksi pertambangan
terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari
setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nett profit, itu artinya nett profit-nya adalah Rp 30 Triliun pertahun. Ini
masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi
emas di Freeport adalah sekitar 200 kg emas murni perhari. Secara kasar,
bersama perusahaan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont
juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp 50 Triliun pertahun.
Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp 691 Triliun. Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing
(terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan
BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini. Yang
harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan tidak dapat diperbarui.
Meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tetapi suatu hari pasti
akan habis juga.
Untuk produksi laut karena
sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil
maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan
negara. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia
baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Miliar atau
Rp 738 Triliun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10% maka ini sudah sekitar Rp 73 Triliun.
Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas
hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar
lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya
yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400
pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon perhektar yang ditebang.
Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp 2 juta dan nett profit-nya
Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x
20 pohon perhektar x Rp 1 juta perpohon = Rp 2000 Triliun. Fantastis. Namun, tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan kita telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun telah dimainkan dengan transfer pricing
untuk menghemat pajak. Namun, Rp 1000 Triliun juga masih sangat besar.
Kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang
bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Ketiga: standar dari Dinar – namun juga natura. Pada
saat simulasi perhitungan APBN ini, angka yang dipakai adalah Rupiah.
Ini sekadar untuk memudahkan mendapatkan gambaran berapa nilai tersebut,
juga untuk membandingkan dengan APBN Republik Indonesia saat ini. Namun
ke depan, kita harus mulai menggunakan standar emas yaitu Dinar, karena
dengan itu APBN ini tak akan lekang oleh zaman, sementara APBN dalam
Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi. Pada Agustus 2010, kurs Dinar yang merupakan emas 22 karat seberat 4,25 gram adalah sekitar Rp 1.500.000 per Dinar.
Selain itu, sebenarnya
dalam APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang
diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau
pengeluaran harus berupa uang. Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak. Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian. Oleh
sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk
standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan
Dinar.
APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan. Karena itu, kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran. Boleh
saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada
bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian
pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.
Yang jelas, dengan anggaran
666 juta Dinar atau sekitar Rp 999 Triliun (pada pos pengeluaran)
sebenarnya sudah dapat tercukupi dengan hasil hutan yang lestari itu
saja. Bagian-bagian seperti fai dan kharaj (termasuk di dalamnya kemungkinan pajak), juga sedekah (yang terkait zakat) bahkan belum perlu diperhitungkan.
Distribusi dalam pengeluaran juga cukup bagus. Pos yang terbesar adalah sektor pendidikan (termasuk dakwah), pengentasan kemiskinan dan infrastruktur. Di dalam sektor infrastruktur ini sudah tertanam anggaran riset sains dan teknologi yang cukup besar, yakni hampir 3.5% APBN. Ini
semua akan sangat cukup untuk menggerakkan ekonomi sehingga bahkan
setelah beberapa tahun, angka kemiskinan sudah sangat rendah. Dengan
begitu, pos pengentasan kemiskinan bisa tidak berarti. Asumsi yang digunakan dengan angka ini adalah setiap orang miskin mendapat asupan 600 gram nutrisi perhari senilai Rp 10.000/kg. Ini artinya setiap orang miskin mendapat Rp 180.000,- perbulan! Bandingkan dengan BLT selama ini yang hanya Rp 100.000 per KK perbulan.
APBN
Pos Penerimaan (dalam juta Dinar)
Bagian Fai & Kharaj (tidak diperhitungkan)
|
0
|
Bagian Kepemilikan Umum
|
|
Minyak
|
121,5
|
Gas
|
178,9
|
Batubara
|
127,5
|
Emas & Mineral Logam lainnya
|
33,5
|
BUMN Kelautan
|
48,9
|
Hasil hutan
|
666,0
|
Bagian Sedekah/Zakat (tak diperhitungkan)
|
0
|
JUMLAH PENERIMAAN
|
1176,3
|
Pos Pengeluaran (juta Dinar)
Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk
|
167,9
|
Kompensasi
|
|
Layanan Hankam dan Jihad
|
41,7
|
Layanan Pemerintahan dan Peradilan
|
30,8
|
Layanan Pendidikan dan Dakwah
|
180,0
|
Layanan Kesehatan
|
55,8
|
Maslahat Vital (Infrastruktur dan Fasum)
|
143,1
|
Cadangan Kebencanaan dan Perang
|
33,3
|
Maslahat Lain-lain
|
13,2
|
JUMLAH PENGELUARAN
|
666
|
Analisis
Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN Indonesia saat ini. APBN Indonesia saat ini memakai pendekatan sektoral dan institusional. Dokumen rinci APBN hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman. Walhasil, rasio-rasio anggaran terhadap target-target (output, outcome) pelayanan masyarakat kurang dapat diketahui dengan cepat, sementara peluang markup
atau penganggaran ganda sangat besar. Di sisi lain, prinsip Dirjen
Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap
anggarannya akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya. Tidak
dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena
efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor eksternal (gangguan alam,
masalah sosial, kondisi ekonomi global, kendala aturan yang berlaku,
dsb).
Pada hitungan APBN syariah
ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh
hutang Indonesia secepatnya, untuk kemudian kita melesat menuju
kesejahteraan dengan syariah.
Tentu saja, bila Khilafah
berdiri di negeri Muslim yang berbeda kondisinya dengan Indonesia, maka
APBN-nya bisa tampak sangat berbeda. Kalau Khilafah berdiri di Irak yang memiliki cadangan migas sangat besar dan merupakan tanah kharajiyah, maka bagian tersebut mesti diisi, sementara hasil hutan atau laut nyaris nol. Sebaliknya, bila Khilafah
berdiri di Bangladesh yang nyaris tidak punya sumberdaya alam baik
migas ataupun hutan, maka bagian fai dan kharaj (apalagi pajak) dan
bagian sedekah/zakat mesti dielaborasi dengan intensif.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.