Assalammu'alaikum warahmtullahi wabarakaatuh
Ikhwan wa akhwat rahimahumullah, ketika membaca tulisan ini saya jadi berfikir apa yang ditulis merupakan kenyataan yang dialami sebagian keluarga muslim. Meskipun saya sudah berkeluarga rasanya jujur akan menyangkut diri kami juga pastinya karena kami pun sedang mengalami hidup di dalam sistem kapitalis hedonistis. Sewajarnya manusia yang saling berinteraksi dengan manusia lain di dalam sistem yang tidak islam sudah pasti membutuhkan pemikiran dan idealisme yang kuat agar bisa hidup ibarat "ikan laut di air asin". Memang kita pasti membutuhkan yang namanya materi dalam bentuk uang atau barang konsumtif lainnya. Namun yang dimaksud dengan tulisan ini nampaknya bukan uang dan materi lainnya yang menjadi tujuan dan ukuran kebahagaiaan hidup sebagai pribadi muslim dan keluarganya. Kita diminta untuk tidak larut dalam pandangan kapitalistik yang salah bahwa materi yang mengatur hidup kita, sebaliknya kita dituntut untuk berpandangan kebahagiaan dan tujuan hidup adalah karena mengharap ridho Allah Subhanahu wata'ala. Jika Allah ridho dengan jalan hidup yang kita tempuh di dunia ini Insya Allah perjalanan hidup di dunia dan nantinya dipertanggungjawabkan diakhiratpun pasti bahagia. Keadaan seperti yang digambarkan dalam tulisan ini bagi sebagian umat Islam seperti terpaksa/ dipaksa/ memaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sesuai standarnya bagi dirinya sendiri. Iya, karena hidup ini adalah pilihan dan ketika seseorang/ kelompok kecil seperti keluarga sudah menentukan standar terkadang berbeda dengan standar keluarga yang lainnya. Standar yang rendah/ sedang/ tinggi akan sangat menentukan besaran pemasukan dan pengeluaran yang wajib diambil.
Jujur saja, jika kita hitung (kalau bisa) misalkan hidup saya yang sudah 31 tahun atau siapapun itu baik muslim atau kafir, kaya harta atau miskin, berpendidikan tinggi atau tidak, tua dan muda dll. Berapa tahun yang membahagiakan dan berapa tahun yang menyedihkan dan berapa tahun yang terlupakan entah bahagia atau tidak, bisa dibilang biasa saja ? Berapa banyak orang yang ketika diminta menyebutkan pengalaman apa yang paling membahagiakan atau berkesan hanya bisa menjawab satu atau dua saja yang diingatnya. Itupun pengalaman dengan melibatkan orang lain (interaksi manusia sewajarnya) bukan dengan materi mati.
Nampaknya yang saya pahami dan semoga pembaca pun demikian, tulisan ini mengajak kita bermuhasabah bahwa kita tidak boleh larut terhadap kehidupan yang rusak dengan berpasrah diri mengikutinya tanpa sikap kritis. Kita harus menatap balik kepada agama Islam dengan kekuatan dan kesadaran yang penuh untuk menemukan jalan yang lurus. Allah menciptakan alam semesta dan seisinya pasti untuk dimanfaatkan oleh makhluk hidup seluruhnya. Tinggal bagaimana cara memanfaatkannya, dengan sikap hedonis/ serba menghalalkan, serakah atau sesuai dengan fitrah manusia dan tuntunan Allah Subhanahu wata'ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Islam, kekayaan yang dimiliki setiap manusia diakui kepemilikannya bahkan orang yang mempertahankan hartanya dari orang yang lalim lalu dia mati dalam mempertahankannya maka matinya syahid. Namun ingat, semua akan ditinggalkan selepas ajal menjemput dan akan dimintai pertanggungjawaban. Mungkin ada yang berprinsip "saya lebih tahu urusan dan kebutuhan saya dan keluarga", silahkan saja karena Allah memberikan ruang kepada hati dan pikiran untuk mewujudkannya dalam tindakan. Namun harus diingat, kita adalah makhluk dan Allah Subhanahu wata'ala adalah Pencipta kita. Pencipta pasti lebih tahu urusan kebutuhan fitrah kita sejak lahir sampai ajal. Dan Allah sudah memberikan tuntunannya didalam Al Qur'an dan Assunnah kemudian disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya, kemudian sebagian ummatnya yang taat mewarisinya untuk disebarkan kepada manusia yang hidup dijamannya.
Karena hidup adalah pilihan maka pilihan itu pada ukurannya seperti si kaya harta mendapat dari yang halal dan seberapa besar yang diamalkan untuk keshalihan atau sebaliknya untuk kemaksiatan. Si fakir mendapat harta yang halal dan seberapa besar diamalkan untuk keshalihan atau sebaliknya untuk kemaksiatan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju batas shiratul mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan badannya untuk apa ia gunakan.” (HR Tirmidzi dan Ad-Darimi).
Karena hidup adalah pilihan maka pilihan itu pada ukurannya seperti si kaya harta mendapat dari yang halal dan seberapa besar yang diamalkan untuk keshalihan atau sebaliknya untuk kemaksiatan. Si fakir mendapat harta yang halal dan seberapa besar diamalkan untuk keshalihan atau sebaliknya untuk kemaksiatan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba (menuju batas shiratul mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan badannya untuk apa ia gunakan.” (HR Tirmidzi dan Ad-Darimi).
Ukuran-ukuran inilah yang harus kita tentukan batasan pilihannya agar sesuai dengan standarnya Allah Subhanahu wata'ala.
Semoga kita selalu dibimbing untuk mendapatkan petunjuk dan hidayah-Nya agar tetap lurus dan istiqomah dalam agama Islam sampai mati.
Keluarga yang bahagia merupakan dambaan setiap orang. Keluarga dambaan digambarkan kebanyakan orang adalah keluarga yang sukses, jauh dari pertengkaran dan jauh dari perceraian, ekonomi keluarga yang tercukupi, pendidikan anak terpenuhi, keinginan anak istri terealisasi.
Untuk memenuhi itu semua tak jarang sang ayah bekerja keras banting tulang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan keluarga, jika dirasa masih kurang sang ibu pun terkadang ikut terjun ke dunia kerja dan sang anak yang masih kecil pun dipercayakan kepada para pengasuh, sementara anak yang sudah besar dibiarkan bebas berekspresi sesuka hati untuk mengembangkan potensi.

Orang tua beranggapan keluarganya sukses apabila anak-anaknya sukses pula, baik itu sukses dalam pendidikan, sukses dalam jenjang karir, dll. Untuk mewujudkan kesuksesan seorang anak, orang tua tidak segan-segan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah favorit dengan biaya yang sangat mahal hingga ke jenjang universitas.
Anak-anak pun dibiarkan bebas berekspresi selama itu bermanfaat bagi kehidupannya seperti mengikuti berbagai kesibukan aktivitas misalnya les-les yang mampu mengembangkan bakat dan potensi (mulai dari les mata pelajaran sampai les-les keterampilan menyanyi, menari, piano, berenang, dll) yang terkadang pendidikan-pendidikan formal dan non formal tersebut tidak diimbangi dengan pendidikan agama yang kuat.
Teringat sebuah ungkapan dari seorang teman yang mengungkapkan, selama dia hidup kalau dijumlah-jumlah biaya yang dikeluarkan orang tuanya untuk membiayai kesuksesan hidupnya dari segi pendidikan SD hingga kuliah sangatlah besar dan penuh dengan perjuangan.
Jangankan dari SD hingga kuliah, waktu kuliah saja orang tuanya setiap bulan mengirimkan biaya kosan, biaya hidup dan biaya kuliah membutuhkan uang yang sangat mahal. Dia menyimpulkan setelah lulus kuliah nanti harus mendapatkan pekerjaan yang setimpal gajinya dengan biaya yang sudah orang tuanya keluarkan.
Sampai ada ungkapan ‘apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau tidak balik modal, kalau tidak dapat pekerjaan dengan gaji besar berarti tidak meraih sukses dalam hidup dan telah gagal membanggakan serta membahagiakan keluarga’.
Sungguh miris memang hidup di zaman serba kapitalistik ini, semuanya diukur dengan materi bernama ‘uang’. Kesuksesan dan kebahagiaan keluarga diukur dengan uang. Pemikiran kebanyakan orang yang hidup dimasa sekarang sudah sangat kental dipengaruhi arah pandang kapitalis.
Segala sesuatu dalam dunia kapitalis ini hanya dipandang dengan materi, maka tak heran kadang orang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan materi tanpa memandang lagi halal dan haram.
Lalu apakan setelah terpenuhinya materi sebuah keluarga akan bahagia? Ternyata faktanya tidak! Banyak kasus di dalam keluarga kaya anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang karena orang tuanya sibuk mencari materi dengan dalih untuk membahagiakan keluarga.
Karena kurang kasih sayang dari orang tuanya yang sibuk sang anak pun mencari pelampiasan kasih sayang kepada teman-temannya. Tak jarang mereka melampiaskan kebutuhan kasih sayangnya kepada lawan jenis yang ujung-ujungnya sang anak terjerumus kedalam pergaulan bebas.
Tak jauh kondisi orang tuapun sama gentingnya terkadang suami istri yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing pasti tidak akan terhindar dari yang namanya pertengkaran karena sang istri atau suami merasa kurang diperhatikan.
Ternyata melihat gambaran kasus diatas kebahagiaan itu tidak dapat diukur dengan materi. Lantas kebahagiaan yang didambakan itu seperti apa? Kebahagiaan dapat tergambarkan dari keluarga yang samara ideologis (sakinah, mawadah warohmah dan ideologis) yang akan muncul di dalamnya ketenangan dan ketentraman.
Keluarga samara ideologis hanya dapat diraih ketika keluarga tersebut berjalan dalam aturan Allah. Masing-masing anggota keluarga melaksanakan setiap kewajiban-kewajibannya selalu berdasarkan aturan Allah karena tujuan hakiki sebuah keluarga adalah selamat dunia akhirat.
Masing-masing anggota keluarga selalu mengingatkan anggota lainnya agar tetap berada di jalan yang benar. Karena pada dasarnya setiap anggota keluarga harus saling menjaga agar terhindar dari api neraka seperti dalam firman Allah dalam QS. At-Tahrim (66): 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.”
Setiap anggota keluarga harus dapat memelihara dirinya dan anggota yang lainnya dari api neraka. Suami wajib memberikan pendidikan kepada istri nya , istrinya yang berperan sebagai seorang ibu wajib mendidik anaknya agar berjalan dalam kehidupan Islam yang mengimplementasikan seluruh aturan Islam yang telah diperintahkan Allah aset penting untuk meraih sukses keluarga.
Perlakukan dan persiapkan mereka agar mampu menjadi pemimpin umat dan bangsa; perlakukan dan bekali mereka agar mampu menjadi penyelamat orang tua dan keluarganya dari neraka.
Pandangan keluarga bahagia yang didambakan dalam Islam sungguh jauh berbeda dengan pandangan kapitalis. Islam memandang keluarga akan bahagia jika seluruh anggota keluarganya berjalan sesuai aturan Islam yang penuh kasih sayang.
Sedangkan kapitalis memandang keluarga bahagia yang diidamkan adalah keluarga yang kehidupannnya bergelimang materi. Pandangan ala kapitalis ini pada kenyataannya tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan ketenangan melihat banyaknya fakta keluarga yang hancur karena mengutamakan materi.
Dalam Islam materi hanya dijadikan sebagai wasilah bukan tujuan utama dalam hidup. Tujuan utama dalam hidup adalah meraih Ridho Allah, begitupun dalam berkeluarga Ridho Allah harus menjadi tujuan utama karena itulah kebahagiaan yang hakiki dalam hidup dan berkeluarga, bukan materi.
Jadi untuk mencapai atau mewujudkan keluarga bahagia yang didambakan cukup tinggalkan pemikiran kapitalis yang memiliki kerusakan yang sistemik dan jadikan aturan Islam sebagai jalan menuju keluarga yang didambakan. Tentunya aturan Islam yang paripurna ini hanya dapat terterap dalam bingkai Daulah Khilafah.Marilah bersegera mewujudkannya. (Erma Rachmawati)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.