Ketika KERJAMU TIDAK DIHARGAI, maka saat itu kau sedang belajar arti KETULUSAN. Ketika USAHAMU dinilai TIDAK PENTING, maka saat itu kau sedang belajar arti KEIKHLASAN. Ketika HATIMU terluka SANGAT DALAM, maka saat itu kau sedang belajar arti MEMAAFKAN. Ketika kau harus LELAH & KECEWA, maka saat itu kau sedang belajar arti KESUNGGUHAN.

Sabtu, 12 Maret 2011

Memelihara Sikap Muraqabah

Allah SWT berfirman (yang artinya): Dia selalu bersama kalian di mana pun kalian berada (QS al-Hadid: 4); Sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi di mata Allah, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi (QS Ali Imran: 6); Allah mengetahui mata yang berkhianat [yang mencuri pandang terhadap apa saja yang diharamkan] dan apa saja yang tersembunyi di dalam dada (QS Ghafir: 19).

Sebagian ulama mengisyaratkan, ayat-ayat ini merupakan tadzkirah (peringatan) bahwa: Allah Maha Tahu atas dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar; Allah Mahatahu atas apa saja yang tersembunyi di dalam dada-dada manusia, apalagi yang tampak secara kasat mata.

Di sinilah pentingnya muraqabah. Muraqabah (selalu merasa ada dalam pengawasan Allah SWT) adalah salah satu maqam dari sikap ihsan, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Malaikat Jibril as. dalam hadits Rasulullah SAW, saat kepada beliau ditanyakan: apa itu ihsan? Saat itu Malaikat Jibril as sendiri yang menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Jika engkau tidak melihat Allah maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” (HR Muslim).


Demikian pula sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits penuturan Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Iman seseorang yang paling utama adalah dia menyadari bahwa Allah senantiasa ada bersama dirinya di manapun.” (HR al-Baihaqi, Syu’ab aI-Iman, I/470).
Dalam hadits lain Baginda Rasulullah bersabda, “Bertakwalah engkau dalam segala keadaanmu!” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).

Dalam Tuhfah al-Awadzi bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzi, disebutkan bahwa frase haytsumma kunta (dalam keadaan bagaimanapun) maksudnya dalam keadaan lapang/sempit, senang/susah, ataupun riang-gembira/saat tertimpa bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104). Haytsumma kunta juga bermakna: di manapun berada, baik saat manusia melihat Anda ataupun saat mereka tak melihat Anda (Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I/164).

Terkait dengan sikap muraqabah atau ihsan ini, ada riwayat bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menguji seorang anak gembala. Saat itu Umar membujuk sang gembala agar menjual domba barang seekor dari sekian ratus ekor domba yang dia gembalakan, tanpa harus melaporkannya ke majikan sang gembala. Toh sang majikan tak akan mengetahui karena banyaknya domba yang digembalakan. Namun, apa jawaban sang gembala. “Kalau begitu, di mana Allah? Majikanku mungkin memang tak tahu. Namun, tentu Allah Maha Tahu dan Maha Melihat,” tegas sang gembala.
****
Jujur harus kita akui, sikap muraqabah (selalu merasa dalam pengawasan Allah SWT), sebagaimana yang ditunjukkan oleh sang gembala dalam kisah di atas, makin jauh dari kehidupan banyak individu Muslim saat ini. Banyak Muslim yang berperilaku seolah-olah Allah SWT tak pernah melihat dia. Tak ada lagi rasa takut saat bermaksiat. Tak ada lagi rasa khawatir saat melakukan dosa. Tak ada lagi rasa malu saat berbuat salah. Tak ada lagi rasa sungkan saat berbuat keharaman. Setiap dosa, kemaksiatan keharaman dan kesalahan ‘mengalir’ begitu saja dilakukan seolah tanpa beban. Banyak Muslim saat ini yang tak lagi merasa risih saat korupsi, tak lagi ragu saat menipu, tak lagi merasa berat saat mengumbar aurat, tak lagi merasa berdosa saat berzina, tak lagi merasa malu saat selingkuh, dll. Semua itu terjadi akibat mereka gagal ‘menghadirkan’ Allah SWT di sisinya dan melupakan pengawasan-Nya atas setiap gerak-gerik dirinya. Mengapa gagal? Karena banyak individu Muslim yang awas mata lahiriahnya, tetapi buta mata batiniahnya. Mereka hanya mampu melihat hal-hal yang kasat mata, tetapi gagal ‘melihat’ hal-hal yang gaib: pengawasan Allah SWT; Hari Perhitungan, surga dan neraka, pahala dan siksa, dst. Yang bisa mereka lihat hanyalah kenikmatan dunia yang sedikit dan kesenangan sesaat. Tentu, kondisi ini harus diubah, agar seorang Muslim kembali memiliki sikap muraqabah.
****
Adanya sikap muraqabah pada diri seorang Muslim paling tidak dicirikan oleh dua hal. Pertama: selalu berupaya menghisab diri, sebelum dirinya kelak dihisab oleh Allah SWT. Kedua: sungguh-sungguh beramal shalih sebagai bekal untuk kehidupan sesudah mati. Dua hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Orang cerdas adalah orang yang selalu menghisab dirinya dan beramal shalih untuk bekal kehidupan setelah mati. Orang lemah adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah SWT.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).
Ketiga: meninggalkan hal-hal yang sia-sia, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tak berguna.” (HR at-Tirmidzi). Jika yang tak berguna saja-meski halal-ia tinggalkan, apalagi yang haram.

Itulah di antara wujud sikap muraqabah. Semoga kita adalah pelakunya. [] abi

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentar positif dan membangun dari blogger sekalian.

Dua Tetes dan Dua Bekas yang Paling Dicintai Allah

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah daripada dua tetes dan dua bekas. Setetes air mata yang menetes karena takut kepada Allah, dan setetes darah yang tumpah di jalan Allah. Adapun yang dua bekas, maka yaitu bekas-di antaranya adalah bekas jihad-di jalan Allah, dan bekas dari melakukan kewajiban di antara kewajiban-kewajiban dari Allah.” (HR. Tirmidzi). Abdullah bin Umar, semoga Allah senantiasa meridhai keduanya berkata: “Sungguh aku meneteskan air mata karena takut kepada Allah itu lebih aku cintai daripada aku bersedekah seribu dinar.” (HR. Baihaqi dalam Sya’bul Iman).

Sebagian Amal Ahli Surga

Nabi saw bersabda: Sungguh jika seorang muslim berinteraksi dengan masyarakat dan sabar atas hal-hal yang menyakitkan dari mereka (akibat interaksi), lebih baik daripada seorang muslim yang tidak berinteraksi dengan masyarakat dan tidak sabar atas hal-hal yang menyakitkan dari mereka (HR. at-Tirmidzi, 9/416).

Mengikuti Sunnah

Umar bin Abdil Aziz pernah berkata: Rasulullah saw dan para pemimpin setelahnya telah menjalankan berbagai sunnah. Mengambil sunnah tersebut sama dengan membenarkan kitabullah, menyempurnakan ketaatan kepada ALLAH dan menguatkan agama ALLAH. Siapa saja yang mengamalkannya niscaya akan mendapatkan petunjuk, siapa yang memohon pertolongan kepada ALLAH dengan menjalankan sunnah maka ia pasti akan ditolong. Siapa yang menyalahi sunnah maka ia telah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, ALLAH akan memalingkannya dari kebenaran dan memasukannya ke neraka jahannam

(Ibnu Abdil Barr dalam jami’ bayan al-ilm juz 2 hal 187)

Pengaruh Dosa dan Taat

Rasulullah SAW telah bersabda: perumpamaan orang yang melakukan keburukan (dosa) kemudian melakukan kebaikan (taat) seperti orang yang memakai baju sempit yang mencekiknya. Kemudian dia berbuat baik maka lepaslah 1 lingkaran, kemudian ia berbuat baik lagi, maka lepaslah 1 lingkaran yang lain hingga akhirnya ia bisa melepaskan dirinya dari cekikan baju tersebut. (HR. Ahmad & Thobroni)

Hati Bersih dan Kotor

Rasulullah SAW pernah bersabda: Fitnah (dosa) akan datang menyambangi hati berturut-turut secara bergantian. Maka hati mana saja yang dimasukinya akan terdapat titik hitam, dan hati mana saja yang mengingkarinya maka terdapat titik putih, hingga ahirnya adalah 2 hati. Pertama, hati yang putih bersih seperti batu yang licin dan mengkilap, hati seperti ini tidak akan bisa dipengaruhi oleh fitnah (dosa) selama ada langit dan bumi (selamanya). Kedua, hati yang hitam legam bagaikan gelas yang terbalik (tumpah), hati seperti ini tidak mengenal kebaikan (Islam) dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali hanya mengenal nafsu yang masuk kedalamnya. (HR. Muslim)
 

. Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers